Senin, 19 April 2010

Cerita Sedih | orang miskin dilarang hidup.



Saudaraku, kayaknya masih membekas dalam ingatan kita semua soal meninggalnya 21 orang saat antri ngambil jatah pembagian zakat oleh seorang pengusaha di Pasuruan pada pertengahan September 2008 lalu. Kalau ngeliat faktanya, zakat salah satunya emang harus diberikan kepada warga miskin. Kita miris banget euy, ngelihat di layar televisi ratusan orang berebut jatah zakat yang dibagikan. Minimnya pengamaman dan cara pembagiannya yang dipusatkan di satu tempat menjadi alasan utama peristiwa menyedihkan tersebut terjadi.


Sebelumnya, kita juga disuguhi pemandangan yang nggak kalah menyedihkannya. Ada banyak orang yang-karena kemiskinannya-harus melakukan perbuatan yang bisa membahayakan kesehatan orang lain. Kamu masih ingat juga kan? Yup, daging rusak hasil pengumpulan sisa makanan dari berbagai rumah makan. Parahnya, tuh makanan sisa ditaro bersisian bareng dengan kumpulan barang bekas lainnya. Boleh dibilang itu udah makanan sampah deh. Untuk mengelebui calon pembeli, daging itu digoreng sampe kering. Dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga yang murah. Pembelinya siapa? Warga miskin juga, Bro. Sedih banget.

Saudaraku, jumlah orang miskin di negeri ini emang cukup banyak. Nggak perlu data statistik yang dipake pun kita udah bisa ngelihat dengan jelas. Data statistik itu cuma ukuran-meski bisa juga berbohong dengan statistik-untuk menentukan berapa jumlah dan prosentasenya aja. Meningkat atau menurun digambarkan dalam bentuk jumlah dan persen. Supaya kelihatan dramatis, dibandingkanlah dengan data sebelumnya. Kalo berkurang jumlah orang miskinnya berarti ada peningkatan kesejahteraan. Kinerja pemerintah bisa dinilai baik ketika bisa mengurangi angka kemiskinan. Begitu juga sebaliknya. Intinya, data itu cuma alat ukur. Meski seringnya juga datanya salah yang mengakibatkan keliru juga mengambil keputusan.

Oya, Presiden SBY pernah menegaskan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan dari 17,7 persen pada 2006, menjadi 15,4 persen dari total jumlah penduduk Indonesia pada Maret 2008. Angka kemiskinan tahun 2008 ini merupakan yang terendah, baik besaran maupun prosentasenya, selama 10 tahun terakhir.

“Tren penurunan angka kemiskinan ini juga terjadi walaupun kita menggunakan kriteria angka kemiskinan Bank Dunia. Ini merupakan suatu kemajuan yang nyata dan patut kita syukuri,” ungkap Presiden, saat menyampaikan pidato kenegaraan serta keterangan pemerintah tentang RAPBN 2009, di hadapan Sidang Paripurna DPR, di Jakarta, 15 Agustus 2008.

Benarkah menurun? Nyatanya nggak juga kok. Banyak pengamat ekonomi bilang data itu diambil sebelum kenaikan harga BBM akhir Mei 2008 lalu. “Pemerintah harus melihat kenyataannya lagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya data yang ada kadang tidak sesuai fakta yang ada,” ujar ekonom Indef Aviliani seperti yang dilansir okezone.com (15/08/2008).

Aviliani menambahkan, padahal saat pengambilan sampel untuk survei Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tersebut tidak mencerminkan dampak kenaikan harga BBM yang dilakukan pada akhir Mei 2008.

Oke, kita kayaknya udah tahu gimana memperlakukan data statistik. Kita bisa menunjukkan kepada siapa pun dengan angka statistik, tapi banyak juga orang menggunakan data statistik untuk berbohong demi kepentingan tertentu. Jadi kacau banget kan? Hehehe.. nggak usah ikut-ikutan bingung apalagi berdebat soal data statistik, karena jumlah orang miskin tetap banyak dan itu bisa kita lihat faktanya dengan mata telanjang. Nggak perlu pake data statistik segala. Iya nggak sih?

Nggak hidup layak

Saudaraku, dalam kehidupan sehari-hari udah sangat jelas bahwa banyak orang yang nggak hidup layak. Di Jakarta, kolong jembatan layang bukan sebatas tempat berteduh di kala panas dan hujan, tapi sudah menjadi ?surga’ untuk hidup di bawahnya, berkembang-biak, dan menyambung hidup di ganasnya belantara ibu kota. Kalo kamu pernah naik kendaraan menelusuri jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta, di bawah jembatan layang itulah banyak dari saudara kita yang bermukim di sana. Gubuk-gubuk bertebaran dan berdesakan di bawah sana. Sementara nggak jauh dari situ, puluhan ?gubuk pencakar langit’ (baca: apartemen) berdiri megah menampung ribuan orang yang bisa membeli atau menyewanya dengan harga mahal. Sebuah ironi. Tapi, itulah memang kenyataannya. Ini baru di satu tempat lho, belum tempat lain di sudut-sudut gelap Jakarta, Bro.

Untuk warga miskin di kota besar, jangankan kepikiran untuk ngomongin soal pendidikan bagi anak-anak mereka, untuk urusan dapur aja seringnya nggak mencukupi. Gimana nggak, kerja seharian banting-tulang dan peras-keringat, penghasilannya hanya berkisar di angka Rp 20 ribu ampe Rp 30 ribu. Malah ada yang di bawah banget, yakni nggak nyampe Rp 10 ribu sehari. So, wajar kalo ada di antara mereka yang berpikir ?kreatif’ dengan menjual daging rusak dan nggak layak konsumsi. Siapa tahu bisa menyambung hidupnya yang empot-empotan. Kasihan memang.

Sobat muda muslim, boleh dibilang kemiskinan itu bikin segalanya jadi susah. Mau belajar susah kalo nggak punya duit banyak, karena pendidikan sekarang hanya bisa dibeli dengan duit yang nggak sedikit. Memangnya ada pendidikan gratis di jaman sekarang? Ada kok. Tapi kualitas dan fasilitasnya ya seadanya gitu. Lagipula jumlahnya nggak sebanyak sekolah yang harus bayar. Sehingga akses untuk mendapatkan pendidikan pun jadi terbatasi bagi warga miskin. Maka, wajar kalo kemudian ada penulis yang bikin buku: Orang Miskin Dilarang Sekolah sebagai bentuk satire alias sindiran kepada siapa pun terutama pemerintah.

Bagaimana dengan kesehatan? Hmm.. nggak jauh beda euy. Bagi warga miskin, kesehatan tak mudah untuk bisa mereka dapatkan begitu saja. Memang pemerintah melalui Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan ngadain banyak program untuk memperhatikan warga miskin, khususnya di bidang kesehatan, tapi prosedur untuk ngedapetin surat keterangan miskin aja agar bisa berobat berbelit sampe akhirnya orang yang sakit jadi malas ngurus begituan. Hasilnya, ya pasrah aja sampe maut menjemput. Duh, sampe segitunya ya? Jadi bener nih orang miskin dilarang hidup?

Mungkin sebagian orang berpikir, daripada tinggal di kota besar tapi hidup nggak layak, pulang kampung saja. Hmm.. nggak semua orang bisa hidup enak di kampung halamannya. Justru banyak orang desa yang niat awalnya datang ke ibu kota adalah untuk mengadu nasib. Di desa udah nggak ada yang bisa dikerjakan, karena di desanya juga kemiskinan menderanya tak kunjung henti. Kalo di kota besar, paling nggak kalo mau rajin bisa dapet duit. Ngamen di bis atau di perempatan lampu merah, atau jadi pemulung barang-barang bekas yang bisa didaur-ulang, atau sebagian ada juga yang merasa harus mengeksploitasi cacat tubuhnya untuk memicu iba dari banyak orang demi ngumpulin rupiah. Banyak yang bisa dilakukan di kota besar. Mulai dari yang terpuji sampai yang tercela, dari yang baik sampe yang buruk, dari yang benar sampe yang salah. Bergantung kepada kualitas iman yang dimilikinya.

Kemiskinan struktural

Miskin, menurut Imam Syafi’i dan jumhur ulama, adalah “memiliki sesuatu (penghasilan/pendapatan) tapi tidak mencukupi (kebutuhan pokok)”. Secara sunatullah kemiskinan telah muncul dalam kehidupan manusia. Allah Swt. emang meninggikan rizki sebagian manusia atas sebagian yang lain. Sebagaimana firman Allah Swt.:


“Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Ankabuut [29]: 62)

Saudaraku, secara faktual atau kenyataannya, Pak A.M. Saefudin, mantan Menpangan, pernah membagi kemiskinan sebagai kemiskinan alamiah (natural poverty) dan kemiskinan struktural (stuctural poverty). Yang pertama, terjadi karena misalnya cacat mental atau fisik, lahir dari dan dalam keadaan keluarga miskin dan faktor lain yang tak terduga (bencana alam, kebangkrutan dan lain-lain). Sedangkan kemiskinan struktural diciptakan oleh sistem, nilai dan perilaku bejat manusia.

Dalam masyarakat sekarang yang dibangun atas dasar kapitalisme-sekularisme, sangat mungkin terjadi yang namanya kemiskinan struktural. Kemiskinan buatan akibat diterapkannya kebijakan oleh pemerintah yang berakibat kepada kemiskinan massal untuk kalangan tertentu dan kekayaan massal untuk kalangan tertentu pula. Lihat deh, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Nggak imbang banget.

Akibat diterapkannya kebijakan kenaikan harga BBM pada akhir Mei 2008 lalu, kini jadi banyak warga miskin baru. Nggak perlu angka statistik yang rumit, karena faktanya bisa kita jumpai di sekitar kita. Silakan tajamkan mata untuk melihat kenyataan. Asahlah kepekaan telinga untuk mendengar jeritan tertahan warga miskin yang antre minyak tanah (meski kini udah semakin langka karena diganti gas elpiji-yang ternyata juga ikutan susah dicari karena belum terdistribusi semua dan produksinya belum cukup). Dampak ikutannya juga nggak kalah mencekik, maka kita saksikan bersama harga-harga sembako merayap naik secara mengejutkan karena ongkos kirim membengkak gara-gara harga BBM naik, ongkos transportasi juga ikutan melambung tinggi. Biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lainnya yang merupakan bagian dari rangkaian akibat kebijakan tersebut akhirnya makin bikin parah keadaan. Yup, kita sengsara bersama kapitalisme.

Kita semua sadar dan tahu bahwa kemiskinan akan selalu ada dalam masyarakat apapun. Hanya saja masalahnya adalah, bagaimana upaya untuk menanggulangi dan memecahkan problem kemiskinan tersebut. Bila bicara tentang pengaturan dan pemecahan problem kemiskinan, maka hal ini jelas berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan oleh negara yang bersangkutan. Tak mustahil, kemiskinan yang sifatnya sudah sunatullah akan tetap langgeng karena negara membantu memperparah kemiskinan tersebut dengan sistem yang diterapkannya. Inilah yang berbahaya dan sangat mematikan kehidupan masyarakat.

Dalam sistem kapitalisme, para konglomerat (baik kelas kakap maupun kelas teri) dengan leluasa bisa mengendalikan sistem perekonomian. Penimbun misalnya, mereka bisa dengan bebas mengumpulkan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, kemudian menunggu waktu yang pas untuk dilempar ke konsumen dengan harga yang melambung. Ironinya, negara masih percaya dan rela diinjak-injak di bawah telapak kaki para konglomerat. Nggak bisa apa-apa. Jelas ini akan membuat masyarakat menderita karena harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Hasilnya, kemiskinan alaminya udah ditambah dengan kemiskinan struktural yang membuat masyarakat semakin terpuruk.

Apa yang harus kita lakukan? Hmm.. nggak usah jauh-jauh nyari jalan keluar, Islam udah punya solusinya, kok. Tentu jika Islam diterapkan sebagai ideologi negara. Sistem Islam akan mengupayakan langkah-langkah dalam mensejahterakan rakyat. Pertama, mengharamkan penimbunan harta. Islam melarang siapapun yang menimbun harta. Ihtik?r (penimbunan) hukumnya haram. Sa’id bin al-Musayyab dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah (al Kh?thi`)” (HR Muslim)

Hal ini umum berlaku untuk semua barang termasuk makanan. Al-Asram meriwayatkan dari Abi Umamah dengan menyatakan: “Rasulullah saw. telah melarang penimbunan makanan.”

Karena itu, tindak penimbunan ini merupakan suatu tindakan kriminal. Islam menetapkan hukumannya adalah ta’z?r. Artinya, bisa diambil salah satu atau kombinasi dari bentuk hukum Islam baik denda, cambuk, diasingkan, penjara, dipotong tangan, atau hukum Islam lain seperti hukuman mati. Sekalipun demikian, Abdurrahman al-Malikiy menyatakan hukuman bagi penimbun adalah hukum cambuk dan penjara tiga tahun (Nizham al ‘Uq?bt, hlm. 191).

Kedua, memerintahkan agar harta beredar di seluruh anggota masyarakat, tidak hanya beredar di kalangan tertentu saja. Sebagai firman Allah Swt. (yang artinya): “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS al-Hasyr [59]: 7)

Ketiga, pemerintah hendaklah mengeluarkan dana khusus untuk kebutuhan mendesak anggota masyarakatnya. Bisa diambil dari Baitul Maal (bukan Baitul Maal yang ada sekarang, itu mah cuma nama doang), Baitul Maal di masa Khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam) adalah “rumah harta” yang disuplai pemasukannya dari zakat, jizyah, dan pos pemasukan lainnya (lebih lengkap bisa dibaca dalam Kitab al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum). Cadangan harta yang ada di situ bisa digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat.

Keempat, menetapkan hukum waris, sebagai upaya untuk memecah dan membagikan harta kepada yang berhak atasnya. Kalo sekarang, orang malah rebutan harta waris. Yang seharusnya berhak kagak dapet, yang seharusnya nggak dapat malah ngambil paling banyak. Kacau banget kan?

Kelima, Islam melarang berlaku kikir dengan tidak menikmati dan memanfaatkan harta yang dimilikinya dalam batas-batas yang ditentukan syara’. Yup, dilarang bagi kaum muslimin untuk pelit bin kikir, dan tentu dianjurkan untuk berbagi dengan sesamanya. Dilarang pula kaum muslimin untuk membelanjakan hartanya di jalan yang maksiat atau menikmati kemaksiatan dengan hartanya.

Keenam, Islam menjadikan sebab-sebab pemilikan harta berdasarkan hukum syara’, dengan beberapa cara. Dalam hal ini Islam akan melarang bentuk sistem ekonomi ribawi. Akan diatur tuh, dapetnya dari mana. Kalo hasil judi, hasil nyolong atau korupsi pasti akan dimintai pertanggungan-jawabnya dan hukuman siap menanti.

Insya Allah, dengan adanya aturan dan sanksi yang diterapkan Islam, nggak bakalan ada lagi orang miskin yang hidupnya nggak layak, apalagi dilarang hidup dengan dibiarkan mereka nyari selamat sendiri. Tapi inget lho, kapitalisme-sekularisme, yakni sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara saat ini, sampe tuyul gondrong juga nggak bakalan bisa menyelesaikan masalah ini-termasuk masalah kehidupan lainnya. Cuma Islam yang bisa. Namun ada syaratnya, yakni Islam yang diterapkan dan dijadikan sebagai ideologi negara. Setuju kan? Harus dong ya.

[Sumber: annasrei.blogspot.com]

seorang manusia mempunyai kisah sedih.

0 komentar:

Posting Komentar