Minggu, 18 Juli 2010

cerita sedih | dari kampung bulak.


saya pikir itu hanya bisa terjadi di film-film atau sinetron-sinetron. Tapi ternyata tidak :(
Siang itu, Pak RT dan Pak RW tiba-tiba datang ke rumahsenyumpagi. Saya sempat tidak percaya, tidak biasa mereka datang kerumah, karena kami (aku dan kelik) yang biasanya sering berkunjung kerumah mereka tentu saja untuk tujuan silahturahmi.
Saya pertama kali menyangka maksud kedatangan mereka lebih karena urusan laki-laki, jadi saya lebih memilih untuk undur kedapur untuk menyiapkan sajian, dan setelah itu kembali ke tempat tidur untuk menyelesaikan terjemahan yang belum rampung.
Kemudian timbul perasaan tidak enak, ketika kelik menarik tangan saya dan menyuruh saya untuk duduk disampingnya, berhadapan dengan dua tetua lingkungan kami.
selebihnya saya hanya bisa diam dan menangis, tidak sepenuhnya percaya dengan yang saya dengar, sambil berharap dalam hati bahwa pertemuan siang itu hanya mimpi.

Maksud kedatangan bapak-bapak ketua RT dan RW itu adalah hendak menyampaikan keluhan dari beberapa alim ulama setempat tentang keberadaan taman belajar rumah senyumpagi.
Masjid taklim setempat merasa keberatan dengan adanya kelas sabtu sore saya, karena mereka takut, saya yang beragama kristen ini akan menyebarkan ajaran-ajaran sesat buat anak-anak.
duh, sedih sekali saya waktu itu. saya tidak bisa berkata-kata. Untung ada kelik, dengan kalimat terbata-bata, dia menjelaskan bahwa kami tidak ada maksud apa-pun, hanya sekedar berbagi dengan para tetangga dan kelas ini adalah bentuk ucapan terimakasih buat para warga. Kami menjelaskan bahwa kelas ini tidak ada hubungannya dengan agama, karena kami percaya itu tangggung jawab keluarga dan pemuka agama, dan tentu saja bukan domain kami.
Untung saja, kedua bapak itu mengerti penjelasan kami dan memahami posisi kami. mereka akan mencoba berbicara dengan para alim ulama itu. Kelik dan aku ingin sekali sebenarnya untuk ketemu langsung dengan mereka, tapi pak RW bersikeras biar dirinya dulu yang ngomong kepada alim ulama. dan sementara itu, saya tetap bisa melanjutkan kelas saya sampai ada keputusan kemudian. Pak RT bilang jika memang ada tuntutan demikian, mau tak mau kelas sabtu sore itu harus ditutup karena ternyata sebenarnya sudah tiga kali mereka mengajukan keluahan ke RT tempat saya tinggal, dan yang terakhir keluhan itu sudah sampai ke kelurahan.
saya sedih sekali siang itu. entah kenapa saya merasa tidak berdaya. seharusnya saya bisa lebih tegar dan tidak cengeng. tapi entah kenapa. ini bukan pertama kali saya dibeginikan karena saya kristen,dulu saya harus menerima sekolah minggu dekat rumah harus ditutup karena keberatan dari para warga. Saya, teman-teman dan para orang tua tetap tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah keputusan para warga yang makin lama makin anarkis.
Setelah pertemuan dengan pak RT dan pak RW, berat sekali saya untuk mengajar di sabtu itu. Saya takut tiba-tiba menangis di kelas, sementara saya harus mengajar sendirian karena keliek harus pergi ke kota.
untung ada sahabat-sahabat yang bisa diajak bicara dan memberikan semangat buat saya.
Jam tiga pun datang, anak-anak mulai berdatangan. Semangat mereka yang ceria mampu mengusir kesedihan saya. Bahkan ketika mereka cerita kalau ada beberapa temannya yang sudah tidak boleh datang kekelas karena sudah tidak diperbolehkan lagi baik oleh orang tua dan pak haji. Entah kenapa, saya bisa tenang waktu mendengar cerita-cerita itu. Tidak sedih maupun marah, meskipun ada yang bilang “Iyah miss, si Tasya ga boleh datang lagi sama mama nya abis takut nya miss ngajaran sholat-sholat kristen,” atau ketika si Cici cerita, “si imel juga ga boleh datang miss, abis kata pak haji miss ika kalo ngajar pake baju seksi dan celana pendek,”
Dengan entengnya, mereka menceritakan hal-hal itu, dan kemudian memutuskan untuk tetap datang les :)Waktu itu sekitar 20-an anak datang menghadiri kelas, memang lebih sedikit dari yang biasanya 30-an anak, tapi kelas sabtu sore itu sangat menghiburku.
Sepanjang kelas, saya hanya bisa tersenyum mengamati mereka dan cara pandang mereka melihat masalah ini.
Anak-anakku, kami memang perlu banyak belajar dari kalian.

0 komentar:

Posting Komentar